MAJALAH TEMPO

Majalah Tempo kali ini mengulas topik utama tentang Sengketa Lahan Batu Bara di Kalimantan Selatan Melibatkan Aparat Keamanan dan Militer. Pada tahun 2010 Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum bentukan Presiden SBY mengkaji kandungan batu bara di Pulau Laut. Satgas memperkirakan cadangan batu bara di dalam perut pulau di sebelah timur kalimantan selatan itu mencapai 100 juta metrik ton yang bisa ditambang selama 40-50 tahun kedepan.

PT. Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO) merupakan salah satu pemilik konsensi batu bara di Pulau Laut. Bersama tiga anak usahanya yaitu PT. Sebuku Tanjung Coal, PT. Sebuku Batubai Coal dan PT. Sebuku Sejaka Coal. PT. SILO menguasai 22 ribu hekhar lahan. Perusahaan itu baru merencanakan beroperasi 2017 lalu meski sudah mengantongi izin sejak 2010.

Lahan SILO Group di Pulau Laut bersebelahan dengan kebun PT. Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM) miliki Syamsuddin melalui Jhonlin Group berkongsi dengan PT. Inhutani II. MSAM mendapat izin perkebunan sawit seluas 11.500 hektar pada 2013 yang beririsan dengan lahan SILO yang merupakan pangkal perseteruan SILO dengan  Syamsuddin.

Syamsuddin dikenal sebagai kerabat Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor. Pada pertengahan tahun 2017, MSAM mulai menanami kebunnya dengan sawit dengan dikawal pasukan Brimob Polri termasuk di lahan yang tumpang tindih. SILO keberatan karena menganggap daerah tersebut masuk wilayah konsensinya.

Grup SILO lalu mencari cantolan ke tentara. Pada September 2017 lalu, bekas Komandan Jendral Kopassus, Soenarko diangkat menjadi direktur utama SILO Group. Menurut Soenarko, ia masuk ke SILO karena diminta Gatot Nurmantyo yang saat itu masih menjabat Panglima TNI. Gatot bercerita bahwa ada perusahaan yang dizalimi pemerintah daerah.

Kepala Polda Kalimantan Selatan Rachmat Mulyana mengakui situasi di perbatasan lahan MSAM dengan SILO Group sempat memanas menjelang akhir 2017.

Untuk ulasan lengkapnya, pemustaka dapat membacanya di Ruang Referensi lantai III Perpustakaan UNIB. adm/sp